Total Pageviews

Popular Posts

Powered By Blogger

Blog Archive

Tuesday, September 13, 2011

PERJALANAN JENDERAL TNI AM HANAFI

Gagalnya Konperensi AA di Aljazair dan Konperensi Tricontinental
di Havana- 1 Januari 1966
Pada hari ketiga setelah saya tiba di Jakarta, Presiden Sukarnomeminta saya turut menghadiri penyusunan Delegasi Indonesia untuk menghadiri Konperensi Organisasi Setiakawan Asia-Afrika dan Amerika Latin, disingkat AAA yang akan berlangsung pada 2 Januari 1966. Ini sesuai dengan harapan Fidel Castro dalam pesannya kepada saya agar disampaikan kepada Bung Karno, hal mana memang telah saya kemakakan kepada Presiden dalam sidang bersama para Deputies.


Turut serta hadir, selain anggota delegasi yang akan diberangkatkan, Ibu Utami Suryadarma, bekas Panitia KIAPMA (Konperensi Internasional Anti Pangkalan Militer Asing), yang telah berlangsung beberapa waktu sebelum pertengahan tahun 1965. Delegasi itu terdiri dari lima orang diketuai oleh Brigjen Latief Hendraningrat, seorang tokoh historik yang mengerek naik Merah Putih di Pengangsaan Timur 56 pada Hari Proklamasi 17 Agustus1945. Saya tidak tahu persis, apakah empat orang delegasi lainnya,di luar Brigjen Latief Hendraningrat, akhirnya jadi atau tidak berangkat. Sebab, menurut laporan istri saya, Ibu Sukendah Hanafi, yang saya serahi tugas mewakili saya kalau saya sedang tidak ada di tempat itu yang bisa menghadiri Resepsi Penyambutan Konperensi AAA di kediaman Duta Besar, yang nampak hadir dari delegasi Indonesia hanya Pak Latief itu saja, sedangkan dari kalangan diplomatik dan Pemerintah Kuba ada yang hadir. Resepsi itu dibintangi oleh Senora Vilma Espin, isteri Menteri Pertahanan Raul
Castro, adik kandung Commandante Fidel Castro.

Lama kemudian baru saya ketahui, bahwa keempat orang Delegasi lainnya itu dilarang berangkat oleh elemen tentara Soeharto yang hari demi hari memperketat kekuasaan de factonya, sekalipun delegasi tersebut diperintah oleh Presiden. Hanya Brigjen Latief Hendraningrat, mungkin karena ketokohannya yang historik itu bisa pergi, dan yang lainnya nyangkut di lapangan udara Kemayoran.


Bagaimana dengan saya sendiri? Saya terpaksa tidak bisa menghadiri Konperensi Tricontinental itu, walaupun Fidel Castro telah sangat mengharapkan. Presiden Sukarno tegas mengatakan agar saya jangan pulang ke Kuba dulu, karena saya masih sangat diperlukan di Jakarta. Maka saya minta beliau menjelaskan hal itu tertulis, demi terpeliharanya secara baik hubungan diplomatik antara kedua negara, Indonesia dan Kuba. Beliau membuat surat tersebut dengan tulisannya sendiri, di hadapan saya.Tentu saja, beliau tidak lupa menyatakan terima kasih atas surat pribadi Fidel Castro yang telah diterimanya dengan rasa persahabatan yang sedalam-dalamnya,seraya m enerangkan bahwa saya buat sementara masih sangat diperlukannya di Jakarta. Dan beliau sangat menyesalkan sekali saya tidak dapat turut serta menghadiri Konperensi Tricontinental yang bersejarah itu, namun telah mengutus Delegasi Indonesia untuk
turut menyertai Konperensi tersebut, diketuai Brigjen Latief Hendraningrat, seorang revolusioner pula.

Surat Presiden itu harus dapat diterimakan kepada Commandante Fidel Castro sebelum 1Januari 1966. Karena itu saya tidak bisa turut mengurus keberangkatan Delegasi tersebut. Saya tergesa-gesa pergi ke Tokyo, mengirim anak saya, mahasiswa Dias Hanggayudha, ke Havana untuk membawa surat penting itu kepada ibunya, agar diserahkan kepada orang penting revolusioner, yaitu Senora Silya Sanchez, Sekretaris Fidel Castro sejak masa gerilya, agar diserahkan langsung kepada Commandante.


Tetapi, apa mau dikata, situasi kami kaum Sukarnois, nasionalis revolusioner, sesudah peristiwa GESTAPU, semua serba salah, seperti peribahasa di Sumatra mengatakan “sudah jatuh ditimpa tangga pula”. Sialan! Ternyata kemudian Brigjen Latief Hendraningrat tidak berhasil untuk diterima hadir dalam Konperensi Tricontinental itu, diblokir oleh Panitia Konperensi, sebab telah datang pula berbareng dengan orang-orang PKI dari Peking dan dari Mesir yang menyatakan diri mereka sebagai Delegasi Indonesia.

Commandante Fidel Castro mengharapkan saya datang dengan Delegasi, tapi justru saya pun tidak datang kembali. Buat Kuba semua itu mengesankan bagaimana kacaunya keadaan dan situasi Indonesia di bawah Presiden Sukarno ketika itu. Kuba mendapat laporan-laporan yang tidak obyektif. Di dalam koran Juventud Rebelde dan di dalam koran Granma (koran Partai Komunis Kuba) termuatlah pemberitaan yang mendiskreditkan Presiden Sukarno, yang antara lain menyatakan: “nanti di atas makamnya haruslah ditulis: di sini telah dimakamkan seorang
Pemimpin yang tidak bisa menghargai kepercayaan rakyat yang diberikan kepadanya” … Sayang, saya tidak punya lagi koran-koran tersebut, dan demi akurasi, baik dicari lagi koran-koran tersebut,nanti.

Mohamad Hatta sebagai Sekretaris I KBRI Havana tidak pula mengajukan protes kepada Kemlu Kuba atas pemberitaan tersebut, walaupun sudah didesak oleh isteri Dubes.Berhubung dengan hal itu maka saya buru-buru lagi pulang ke Kuba pada tanggal 21 Januari 1966. Hal ini akan saya singgung kembali dalam bagian berikut nanti. Brigjen Latief Hendraningrat sebagai Delegasi resmi dari Indonesia hanya sempat menghadiri Resepsi Penyambutan Konperensi Tricontinental di rumah kediaman Duta Besar yang diselenggarakan oleh Sukendah bersama-sama Staf KBRI. Resepsi yang mendapat perhatian begitu besar dihadiri oleh semoa corps diplomatik dan dihadiri oleh Menteri Perdagangan Kuba serta Senora Vilma Espin, isteri Menteri Pertahanan Commandante Raul Castro. Di situ juga digelarkan tari-tari kesenian Indonesia oleh pemuda dan pemudiKu ba yang dipimpin oleh anak-anak saya Nurdjaja dan Damayanti.


Sesudah itu, Brigjen Latief Hendraningrat pulang ke Indonesia tanpa sempat berpamitan dahulu kepada istri saya Sukendah (Latief sekeluarga adalah tetangga sebelah-menyebelah rumah kami di zaman Jepang). Dia yang mewakili saya sebagai Dubes membela posisi pemerintah R.I. di masa menghadapi sidang Tricontinental di Havana. Semuanya sudah jadi kacau, gara-gara sikap kekiri-kirian perseorangan tokoh-tokoh komunis yang datang dari Peking dan Mesir itu. Sehingga Kuba tanpa ragu-ragu (sebagai setiakawannya yang revolusioner?) menempatkan artikel di suratkabar Juventud Rebelde dan Granma, tulisan yang mau mendiskreditkan Presiden Sukarno. Apakah mereka tidak menginsafi bahwa tindak-tanduknya yang memusuhi Presiden Sukarno (sebab kecewa?) itu bisa ditarik garis-lurus dengan statement Dewan Revolusi Kolonel Untung? Subyektivisme macam inilah yang menghancurkan PKI dan menjatohkan Presiden Sukarno. Selama zaman Jepang dan di zaman revolusi 1945 yang melindungi tokoh-tokoh PKI (Amir Sjarifuddin, Wikana dan lain-lain) bukan Musso atau Alimin, apalagi bukan Aidit, mereka pada bergantungan pada ujung bajunya Sukarno.

Tetapi sekarang, setelah PKl “kesandung batunya” sendiri, mereka “bangkit-napsu” karena Sukarno tidak membantu lagi. Kalau saya, saya akan tahu, di mana dan kapan harus menggunakan sikap “right or wrong - my country”. Kalau negeri saya “brengsek” itu urusan saya ke dalam negeri dulu. Mengapa harus membuat “tanggung-renteng” setiakawan revolusioner atas sesuatu perbuatan yang tidak ada dalam kamus revolusi, yang mengharamkan putsch itu. Di atas ladang subyektivisme PKI itulah tumbuh benih diktator Soeharto. Para tokoh-tokoh bekas PKI bertanggungjawab harus membikin clear masalah bencana nasional ini, sehingga generasi muda tidak hanya tertarik dari jauh oleh cantiknya mawar merah, tapi tak tahu banyak durinya yang tajam dan berbisa!


Berbicara mengenai Konperensi Tricontinental, tak bisa terlepas dari masalah lingkaran pertentangan dua pola dunia: kapitalisme dan sosialisme, kubu USA versus kubu Uni Sovyet dan kubu RRC. Sudah sejak tahun 1960, Uni Sovyet dan RRC tidaklah merupakan satu kubu bersama-sama yang bersatu lagi. Kubu sosialisme Uni Sovyet di bawah pimpinan Khrushchev sejak lahirnya berorientasi baru yang disebut ‘peaceful coexistence” di tengah-tengah situasi internasional yang sedang terlibat Perang Dingin. Khrushchev melansir politik peaceful coexistence dengan maksud mengcontain RRT yang menempuh garis “arm struggle” untuk menghadapi imperalisme dan membebaskan negeri-negeri yang masih terjajah.


Oleh karena itulah perpecahan kubu sosialis itu, sejak dari situ sudah mengacu pada kebangkrutan strategi dalam menghadapi USA. Sovyet Uni ternyata di pihak yang kalah, walaupun sosialisme sebagai cita-cita sulit dihancurkan atau dimusnahkan dari bumi manusia ini.
Namun realitas perkembangan dunia menyatakan USA mengungguliUni Sovyet dan RRC, paling-paling sampai ke permukaan abad ke XXI ini.Tentang Uni Sovyet, saya meminjam istilah Fidel Castro:“ia telah mengadakan bunuh diri”. RRC yang dulu mengutuk Khrushchev sebagai “penempuh restorasi kapitalisme”, tampaknya sekarang mengancik ke arah jalan itu juga.


Oleh sebab itu saya ingin bertanya, apakah pelajaran sejarah abad ke XX belum cukup keras, belum cukup jelas, belum cukup pedih bagi bangsa Indonesia untuk lebih kuat kembali tegak berdiri di atas kepribadiannya sendiri yang telah ditunjukkan oleh Bung Karno di dalam “Lahirnya Pancasila”. Tentu saja bukan secara munafik ala Orde Baru diktator Soeharto! Tiga tungku yang prinsipal dari Pancasila dan tujuan R.I.:

1) Berketuhanan yang Maha Esa,

2) SosioNasionalisme,

3) Sosio-demokrasi.

Menghilangkan salah-satu dari ketiga tungkunya itu, berarti: mengkhianati Pancasila. Di dalam
ilmu politik kontemporer, Pancasila itu disebutkan juga sama dengan Sosialisme Indonesia. Tentulah dipahami bahwa sosialisme itu bukan komunisme! Beberapa negara kapitalis di Eropa dengan sistem demokrasi liberal dan partai sosialisme bisa juga mencapai nilai-nilai sosialisme dalam taraf tertentu, yang spesifik, seperti Swedia, Prancis, Belanda dan lain-lain, walaupun tidaklah mungkin dalam arti “sama rata dan sama rasa”, namun rakyat pekerjanya mendapatkan haknya, yaitu jaminan sosial.


Sosialisme adalah satu cita-cita, satu ideal. Tuntutan hati nurani rakyat, disingkat TUHANURA. Ini adalah Matahari Abadi, yang menghayati sejarah. Panggilan sejarah itu adalah progres. Progres atau kemajuan masyarakat berbangsa itu adalah panggilan atau suruhan Tuhan! Selama masih ada kekolotan, kemiskinan dan penindasan oleh manusia atas manusia dan oleh bangsa atas bangsa-bangsa, cita-cita akan sosialisme itu akan memancar bersinar terus, laksanan Matahari Abadi yang takkan bisa ditutupi oleh tangan manusia siapa pun juga.


KonperensiAsia-Afrika ke-I, 18 April 1955 yang telah melahirkan Semangat Bandung itu tidak berhasil mencapai estafetnya yang ke II, oleh sebab tercegat atau disabot oleh kudeta Kolonel
Boumedienne di Aljazair yang menumbangkan Presiden Ben Bella, Juli 1965. Kolonel Boumedienne berhasil menunggangi kontradiksi Uni Sovyet-RRC. Kabarnya D.N. Aidit menjadi tersengat fantasinya oleh keberhasilan Boumedienne. Tapi lupa bahwa posisi Aljazair lain dari posisi Indonesia. Boumedienne, Kolonel tentara dari FLNA, sedangkan Aidit hanya Ketua PKI yang dicurigai tentara.


Maaf, ini tidak berarti saya setuju kudeta, kudeta dari kiri atau dari kanan akan saya tentang. Dapatlah dipahami, bahwa yang dapat menarik keuntungan dari kudeta Boumedienne yang mencegat berlangsungnya Konperensi AA ke-II itu, ialah Uni Sovyet dan USA. Ini bisa dimengerti kalau dihubungkan dengan analisa strategi global ketiga negara besar di dunia itu.


Sebenarnya, saya sudah merasakan firasat akan adanya bahaya yang mengancam Setiakawan AA. Ini akibat tidak diikutsertakannya Sovyet Uni sejak dari Konperensi AA ke-I di Bandung. Sementara`berjalannya persiapan Konperensi AA ke-II di Aljazair, dan KBRI Havana bersiap-siap pula untuk mengadakan perayaan penyambutan Konperensi AA ke-II di Aljazair tersebut, Dubes Mongolia, Sr. Gundiin Baga, mengunjungi saya di KBRI tiga atau empat kali.


Acaranya yang itu-itu juga, menanyakan apakah Jakarta sudah bersedia mengikutsertakan Uni Sovyet dalam Konperensi AA ke-II. Jelas, kudeta Boumedienne bukan hanya perebutan kekuasaan dalam negeri kontra Ben Bella semata-mata, tetapi juga karena akibat perebutan pengaruh antara Uni Sovyet dan RRC. Ketika saya jumpa Letkol Marsudi sebagai charge d’affair R.I. di Beirut, Libanon, saya dikabari bahwa dia menjumpai Kolonel Boumedienne di Sahara,
untuk mengabarkan sumbangan senjata R.I. kepada Aljazair sedang dilaksanakan melalui segi tiga R.I.- S.U.- Mesir. Untuk diketahui, memang sumbangan setiakawan Uni Sovyet dalam persenjataan yang dibutuhkan Indonesia, adalah yang terbesar, teristimewa dalam perjuangan untuk pembebasan Irian Barat. Tapi dalam Konperensi AA ke-II yang akan diadakan bulan Juli 1965, Uni Sovyet tidak diikutsertakan dan Indonesia tetap lebih condong ke RRT.


Maka dapatlah kiranya dilihat kembali, bahwa puncak kejayaan era Sukarno adalah Konperensi AA ke-I yang melahirkan Dasa Sila Semangat Bandung, di mana RRC memperoleh kesempatan historis keluar dari isolasi dan menancapkan panji-panji setiakawan revolusioner, teristimewa terhadap negeri-negeri Asia-Afrika. Tetapi, tetapi peristiwa kudeta Kolonel Boumedienne itu berarti pula dipalunya genderang serangan offensif Nekolim terhadap Indonesia, negeri-asalnya Setiakawan Asia-Afrika.


Kejadian itu sebenarnya adalah suatu prediksi atau lebih tepat peringatan yang harus ditanggapi oleh segenap elemen kubu sosialis, bahwa kubu kapitalis telah menancapkan panji-panji ofensifnya mulai dari kudeta Boumedienne di Aljazair itu. Tetapi nyatanya tidak terjadi, jalan dan caranya Sovyet Uni bertabrakan dengan jalan dan langgam kerjanya RRC. Menurut cerita D.N.Aidit pada saya, Mikoyan, tokoh Politbiro PKUS yang terpenting, ketika berkunjung ke Jakarta, datang ke kantor CC PKI di Kramat, dan mengancam bahwa PKI akan dihancurkan kalau terus-terusan menggandol ke Cina (RRC). Lalu saya bertanya: “Kau jawab apa?” “Yah, orang bertamu kok, Mikoyan itu orang penting, kan”.


Saya tidak tahu selanjutnya, apakah hal itu didiskusikan oleh CC PKI atau tidak, bukan urusan saya. Tapi bukan hanya selentingan lagi bahwa CC PKI itu juga pecah di dalam. Ternyata dari pledooi Sudisman di depan Mahmilub: Sudisman dan Nyoto di satu pihak, D.N.Aidit dan Sjam Kamaruzzaman di pihak lain. Saya mau simpulkan tanggapan saya akan arti penting bersejarah
dari Konperensi Tricontinental (AAA) itu, sebagai pancaran cemerlang sinarnya Setiakawan Revolusioner dari Asia-Afrika-Amerika Latin yang terakhir dalam siklus sejarah sementara ini.


Dan hal itu tidak terlepas dari putsch GESTAPU yang mengakibatkan jatuhnya Presiden Sukarno. Kemudian Kuba mercusuar Amerika Latin itu telah mengalami pukulan pula dari CIA /Amerika, dengan cemerlangnya keberhasilan CIA di Jakarta, ia menumbangkan pula Presiden Allende di Chili sampai mati dengan senjata A.K. di tangannya di istana Santiago. Maka membahanalah tampik-sorak kemenangan kaum anti-komunis di seluruh benua, sampai-sampai di Jakarta kaum non-komunis pun, bahkan yang tidak bisa baca ABC politik, apalagi marxisme, diceburkan mati ke laut dan ke sungai-sungai, di”Pulau-Buru”kan dan dipenjarakan tanpa proses belasan tahun.

Arthur Conte yang mempersunting Konperensi AA begitu indah dan menariknya, di dalam bukunya Ce Jour la: 18 Avril 1955: Bandung Tournant de l’Histoire (”Hari itu: 18 April 1955 Bandung,Titikbalik Sejarah”) hanya meninggalkan mimpi yang indah pada bangsa Inbenderang, bahwa hidup manusia di zaman sekarang berasal dari stratagem (siasat perang) Perang Dingin segi tiga: Amerika Serikat, Uni Sovyet, RRC itu tadi.Tetapi jangan pula lupa, bahwa Konperensi
AA, itu sendiri adalah manifestasi dari “produk” ketegangan segi tiga atau tiga pola kekuatan di dunia itu. Saling baku-hantam, kita terjepit.


Mau tidak mau saya teringat kepada Pidato Bung Karno di Sidang Umum PBB 1960, yang menawarkan filsafah Pancasila untuk Membangun Dunia Kembali. Pidato tersebut ingin saya lampirkan di dalam buku ini di dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris), setidak-tidaknya untuk menjadi dokumentasi yang bagi saya seperti Bung Karno menganggap Pancasila itu adalah een hogere optrekking, satu pengangkatan yang lebih tinggi dan lestari dari Manifesto Komunis dan Kapitalisme. Untuk mencapai dunia baru tanpa perang dan berkeadilan sosial, sama-sama kerja, sama-sama makan.

Apakah mungkin tercapai cita-cita itu? Mengapa tidak? Sebagai orang yang beragama Agama Islam, saya menjunjung Al Qur’an Ulkarim di dalam hatiku dengan keyakinanku dan tafsir yang dialektis. Bahwa Tuhan menjadikan ummatnya bergolong-golongan, berbangsa-bangsa agar saling-mengenal dengan baik, selanjutnya bahwa Tuhan tidak akan memperbaiki nasib sesuatu
bangsa, kalau bangsa itu sendiri tidak mau memperbaiki nasib bangsanya. Titik beratnya tergantung pada ada tidaknya kemauan.


Ada kemauan, pasti ada jalan. Barangkali seperti ungkapan yang mengatakan:”Bukan satu jalan menuju ke Roma”. Barangkali ada tujuh jalannya menuju ke Roma itu, yang terpenting sampainya, bukan jalannya, dan tentu saja bukan jalan pintas seperti GESTAPU atau Gestok itu! Dan pasti: bukan jalan dan caranya D.N.Aidit,apalagi bukan jalan dan caranya kudeta atau kapital dari negeri-negeri Barat, Amerika dan Eropa untuk pembangunan dalam zaman apa yang disebut era globalisasi, namun pasti bukan jalan dengan caranya Presiden Soeharto yang akibatnya sudah lebih mempertegang kembali pandangan rakyat Indonesia terhadap negara-negara penegak demokrasi (sekalipun demokrasi Barat) yang liberal itu.

No comments:

Post a Comment

Labels