Total Pageviews

Popular Posts

Powered By Blogger

Blog Archive

Tuesday, September 13, 2011

Mereka Menodong Bung Karno

Teman-teman,

Mohon bantuan Anda menyebar-luaskan kabar istimewa ini ke teman-teman pencinta sejarah dan politik.Penerbit Galangpress akan menghadirkan diskusi istimewa buku terbaru “Mereka Menodong Bung Karno” di Semarang, Sabtu, 9 Agustus 2008.(udah lewat) Soekardjo Wilardjito, penulis buku ini, akan hadir membongkar semua yang ia tahu tentang penodongan bagi Bung Karno saat hendak menandatangani Supersemar. Mantan pengawal Presiden Bung Karno ini akan membeberkan rahasia besar pengambilalihan paksa kekuasaan Republik oleh Soeharto:

Buku kedua yang akan kami hadirkan adalah “Mencari Supriyadi” dengan penulis Dr Baskara T Wardaya (sejarawan, Direktur Pusat Sejarah dan Etika Politik Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta).

pukul 11.00-13.00 diskusi di Knowledge Forum Semarang
pukul 14.00-18.00 diskusi di TB Gramedia Pandanaran

Akan hadir sebagai pembicara, selain para penulis, adalah Andaryoko Wisnuprabu (pelaku sejarah) dan, sedang dalam konfirmasi, Dr George Junus Aditjondro. Kapan di Jogja? Sabtu, 16 Agustus 2008 pukul 14.00 di TB Gramedia Sudirman. Dengan pembicara yang sama.

Salam dahsyat,
AA Kunto A
Penerbit Galangpress Group
galangpress

———————————————————————————-Pada tahun 1945, Kota Blitar menjadi pusat pemberontakan tentara PETA yang dipimpin oleh Sodancho Supriyadi, melawan tentara Jepang. Untuk mengenang jasa beliau, dibangunlah sebuah monumen yang terletak di depan bekas markas PETA (depan TMP Raden Wijaya). Selain di sana, juga dibangun sebuah patung setengah dada Supriyadi yang terletak di depan Pendapa Kabupaten Blitar.

Di berbagai buku sejarah, diungkapkan bahwa beliau adalah seorang pahlawan yang sangat mempunyai andil dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tapi, benarkah Supriyadi telah wafat? Atau dia menghilang secara misterius pasca gagalnya pemberontakan tentara PETA? Lalu bagaimana dengan monumennya?

Supriyadi tidak gugur. Ia tetap hidup dan berkiprah sampai sekarang. Itu yang diungkapkan dalam buku ini. Benarkah demikian? Ya. Semuanya diungkap dalam buku teranyar dari Penerbit Galangpress. Anda ingin tahu misteri hilangnya Supriyadi? Bacalah dan dengarkan tuturan sang pelaku sejarah…

Bacalah bukunya dan hadiri pula diskusi buku ini pada Kamis, 7 Agustus 2008, pkl 16.00 di TB. Gramedia Jl. Pandanaran – Semarang. Dengan pembicara langsung dari penulis Baskara T. Wardaya SJ. (yang juga menulis buku laris Bung Karno Menggugat dan Supersemar), dan Andaryoko Wisnuprabu (pelaku sejarah).

Ungkaplah misteri hilangnya Supriyadi, dan dengarkan tuturannya…

Salam dahsyat,
Redaksi Galangpress
www.galangpress.com

MENCARI SUPRIYADI
Penulis: Baskara T. Wardaya SJ.
Harga: Rp 66.000

Blitar, 1945. Pada bulan Februari tahun itu sesuatu yang luar-biasa terjadi di sana: para sukarelawan Pembela Tanah Air (PETA) melakukan pemberontakan berdarah. Mereka melancarkan serangan militer terhadap tentara Dai Nippon. Korban berjatuhan di kedua belah pihak. Tetapi pemberontakan gagal. Meskipun demikian pemberontakan yang dipimpin oleh Shodancho Supriyadi yang gagah berani itu telah menjadi sumber inspirasi bagi perlawanan terhadap penjajah.

Masalahnya, di mana Supriyadi setelah pemberontakan itu? Kalau dia gugur atau tertangkap, mengapa tak ada bukti atau saksi mata? Tetapi kalau ternyata dia selamat dan hidup, mengapa tak seorangpun tahu di mana dia berada? Anehnya, Presiden Soekarno menunjuk Supriyadi sebagai Menteri Keamanan Rakyat dan kemudian Panglima TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Apakah itu berarti bahwa sebenarnya Supriyadi tetap hidup dan terus berjuang tetapi tanpa kita sadari?

Buku Anda ini bermaksud menawarkan kemungkinan jawaban. Bahan yang dipakai adalah bahan sejarah lisan. Sumbernya seorang mantan pejuang kemerdekaan yang konon mengetahui di mana Supriyadi berada. Menurut dia Supriyadi tidak gugur. Ia tetap hidup dan berkiprah sampai sekarang. Sampai sekarang? Betul. Begitulah menurut dia. Lewat buku ini Anda diundang untuk menemui dia dan mendengarkan tuturannya.

Info info.galangpress@gmail.com

Soekardjo Wilardjito yang sebelumnya dituduh menyebarkan kabar bohong dalam peristiwa Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) kini bernapas lega. Pasalnya, Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi yang diajukan jaksa penuntut umum (JPU).

Dengan tidak diterimanya permohonan kasasi JPU, maka apa yang dilihat dan dialami Wilardjito pada 10 Maret 1966 dini hari tentang adanya upaya paksa 4 jenderal terhadap Soekarno untuk menandatangani Supersemar tidaklah bohong yang menyebabkan keonaran.

Inilah kesaksian langsung dari Wilardjito, Sang Pengawal Presiden… yang tertulis dalam buku teranyar dari Penerbit Galangpress Group.

Salam,

Redaksi Galangpress Group
www.galangpress.com
MEREKA MENODONG BUNG KARNO

Penulis : Soekardjo Wilardjito
ISBN : 978-602-8174- 06
Ukuran : 15 x 23 cm
Tebal : 354 halaman
Harga : Rp 59.000,-

Dinihari, tanggal 11 Maret 1966 merupakan saat-saat yang menggetarkan bagi Soekardjo Wilardjito. Waktu itu ia menyaksikan sendiri satu sekuel sejarah kelam bangsa ini. Empat jenderal mendadak mengunjungi Istana Bogor, mereka adalah Jenderal M. Yusuf, Amir Machmud, Basoeki Rachmat, dan M. Panggabean. Mereka meminta Presiden Sukarno untuk menandatangani sebuah surat yang sangat penting.

Dalam memoarnya ia menulis: Hanya mengenakan baju piyama, Bung Karno menemui keempat jenderal tersebut. Lantas Jenderal M. Yusuf menyodorkan sebuah surat dalam map warna merah jambu. Setelah membaca surat tersebut, dengan nada terkejut, Bung Karno spontan berkata: “Lho, diktumnya kok diktum militer, bukan diktum kepresidenan! “

Mendengar kata Presiden seperti itu, secara refleks aku yang berada di ruangan tersebut tak kalah terkejutnya. Surat itu tidak terdapat lambang Garuda Pancasila dan Kop surat tersebut bukan berbunyi Presiden Republik Indonesia, melainkan kop di kiri atas, Markas Besar Angkatan Darat (Mabad). “Untuk merubah, waktunya sudah sangat sempit. Tanda tangani sajalah, Paduka. Bismillah,” sahut Basoeki Rachmat, yang diikuti oleh M. Panggabean mencabut pisol FN 46 dari sarungnya.

Secepat kilat aku juga mencabut pistol. “Jangan! Jangan! Ya sudah kalau mandat ini harus kutandatangani, tetapi nanti kalau masyarakat sudah aman dan tertib, supaya mandat ini dikmbalikan kepadaku” Keempat jenderal itu lantas mengundurkan diri. “Mungkin aku akan meninggalkan istana, hati-hatilah engkau,” kata Bung Karno kepadaku.

Dan benar itu menjadi malam terakhirku berjumpa dengan Bung Karno…

Buku ini banyak mnguak tabir sejarah yang selama ini terpendam. Berikut kisah pilu dan menghancurkan dari penulisnya yang notabenenya seorang eks tapol Orde Baru. Luar biasa, di hari senjanya ia masih mampu merekam kisah hidupnya dan terus menuliskannya menjadi jejak sejarah yang tak pernah kering.

Salam hangat!

No comments:

Post a Comment

Labels